Kuasa Hukum Anifah Pertanyakan Logika Putusan Hakim: “Kalau Begitu, Semua Nasabah Bank Bisa Dipenjara"
Pati, 16 Oktober 2025 — Sidang ke-17 perkara dugaan penipuan investasi sebesar Rp3,1 miliar dengan terdakwa Anifah binti Pirna resmi mencapai tahap akhir di Pengadilan Negeri Pati. Majelis hakim yang diketuai oleh Budi Aryono, S.H., M.H., dengan anggota Dian Herminasari, S.H., M.H. dan Wira Indra Bangsa, S.H., M.H., membacakan putusan yang menimbulkan tanda tanya besar: perkara tersebut dinyatakan bukan penipuan, melainkan penggelapan.
Keputusan tersebut tidak diambil secara bulat. Dua hakim, yakni Ketua Majelis dan Anggota I, berpendapat bahwa Anifah bersalah karena tidak mengembalikan dana investasi yang dipercayakan kepadanya. Padahal masa kontrak kerjasama investasi belum berakhir.
Sementara itu, Hakim Anggota II memilih berbeda pandangan dengan menyampaikan dissenting opinion. Ia menilai perkara tersebut seharusnya tidak masuk ke ranah pidana, melainkan sengketa perdata, karena adanya akta perjanjian notaris, cicilan pembayaran, serta jaminan tanah yang menunjukkan hubungan hukum perdata antar pihak.
Menanggapi putusan itu, kuasa hukum terdakwa, Darsono, S.H., menyebut keputusan majelis hakim tidak sejalan dengan prinsip keadilan. Ia menegaskan bahwa kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka bahkan sebelum perjanjian kerja sama berakhir. “Ini keputusan yang keliru dan tidak logis. Bagaimana bisa seseorang dituduh menggelapkan dana padahal masa perikatannya belum selesai?” tegas Darsono dengan nada kecewa.
Darsono mengungkapkan, pihaknya saat ini tengah mempertimbangkan langkah banding, sambil menunggu keputusan akhir dari kliennya. “Kami diberi waktu tujuh hari untuk pikir-pikir, tetapi dari sisi keadilan, kami melihat ada dasar kuat untuk mengajukan banding,” ujarnya.
Lebih lanjut, Darsono menyoroti cara berpikir majelis hakim yang dinilainya tidak konsisten. Ia memberikan analogi tajam yang menohok logika putusan tersebut. “Kalau logika itu digunakan, maka semua nasabah bank bisa dipenjara,” katanya menyindir. “Bayangkan, seseorang meminjam uang di bank untuk modal usaha tapi digunakan membeli mobil — apakah lantas ia harus dipidana? Padahal jelas ada kontrak notaris, ada cicilan, dan ada jaminan. Tapi bagi dua hakim itu, semua itu dianggap tidak berarti.”
Ia menegaskan, putusan yang mengabaikan perjanjian notaris dan jaminan sah dapat menjadi preseden berbahaya bagi dunia usaha dan sektor perbankan. “Ini bukan sekadar tentang kasus Anifah. Ini soal nalar hukum kita. Jika pendekatan seperti ini diteruskan, batas antara hukum pidana dan perdata akan kabur, dan siapa pun bisa terjerat pidana tanpa dasar yang jelas,” tandasnya.
Darsono memastikan, perjuangan hukum belum berhenti di meja sidang kali ini. Ia menegaskan akan terus mengawal langkah hukum berikutnya demi memastikan keadilan bagi kliennya benar-benar ditegakkan.
(Redaksi Cakramedia Indonesia)
Komentar
Posting Komentar