Pati – Sidang keenam perkara dugaan penipuan dan penggelapan investasi senilai Rp 3,1 miliar dengan terdakwa Anifah kembali digelar di Pengadilan Negeri Pati pada Senin (8/9/2025). Kehadiran Anifah menarik perhatian sejumlah pihak. Penampilannya yang rapi dan berwibawa digambarkan sebagian pengunjung sidang bak artis ibu kota, namun tetap dengan sikap tenang menghadapi proses hukum yang berjalan.
Agenda persidangan kali ini berfokus pada pemeriksaan saksi, yakni Muh Harun serta pasangan Puji Supriyani (Puput) dan Teguh Nugroho. Namun, untuk ketiga kalinya Puput dan Teguh kembali tidak menghadiri sidang meski telah dilakukan pemanggilan paksa. Kondisi ini membuat Jaksa Penuntut Umum akhirnya membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) keduanya di depan majelis hakim.
Kuasa hukum terdakwa, Darsono, menilai keterangan Muh Harun terkait adanya nota palsu sudah tidak lagi relevan. Menurutnya, hal itu menyangkut perjanjian lama yang dibuat di hadapan notaris Karina, sementara perjanjian tersebut telah diperbarui dengan addendum di hadapan notaris Febya. “Perjanjian itu sudah diperbarui melalui notaris kedua. Korban pun menyatakan selesai dengan perjanjian awal. Jadi tidak tepat jika hal lama terus dipersoalkan kembali,” tegas Darsono.
Selain itu, Darsono menegaskan bahwa dugaan adanya kuitansi palsu sebenarnya lebih berkaitan dengan hubungan internal antara Joko dan Muh Harun, bukan dengan terdakwa Anifah. Bahkan, Muh Harun sendiri mengakui tidak mengenal langsung terdakwa. Dengan demikian, menurutnya, tuduhan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk dikaitkan dengan kliennya.
Terkait absennya Puput dan Teguh Nugroho, Darsono menyoroti pentingnya ketentuan hukum yang berlaku. Ia merujuk Pasal 162 KUHAP, di mana keterangan saksi di luar persidangan hanya bisa dijadikan alat bukti bila saksi berhalangan hadir karena alasan sah, misalnya meninggal dunia. “Dalam kasus ini, keduanya sudah tiga kali dipanggil, bahkan dengan upaya pemanggilan paksa, tetapi tetap tidak hadir tanpa alasan jelas. Hal ini tentu berbeda dengan yang diatur undang-undang,” ungkapnya.
Darsono menutup keterangannya dengan menekankan bahwa seluruh proses hukum seharusnya berjalan dengan proporsional, berdasarkan bukti nyata, bukan asumsi atau keterangan yang tidak utuh. “Pembelaan kami bukan untuk menghindari hukum, melainkan untuk memastikan keadilan benar-benar terjaga. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan hanya karena keterangan yang tidak lengkap,” pungkasnya.
(Redaksi Cakramedia Indonesia)
Komentar
Posting Komentar